Sebagai manusia lahir dan dibesarkan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentulah tahu perubahan sejarah kondisi di Yogyakarta. Era 2000 suasana masih rindang, pergi ke sawah udaranya sejuk, dingin, berembun. Namun Era sekarang, suasanya berubah total panas mencekam sejak pagi. Apakah memang gara-gara global warning, ataukah sebab internal birokrasi pemerintahan.
Bangunan megah telah berdiri kian kokoh di Kota Yogyakarta. Hotel-hotel, mal-mal, pusat pusat ekonomi makin bertambah. Di daerah Sleman, sepanjang jalan godean, sawah - sawah telah tertutup bangunan pertokoan. Mungkin area persawahan akan tergerus menjadi perumahan-perumahan. Banyak anak muda telah hijrah dari kampung halamannya. Banyak pendatang mengisi perumahan-perumahan. Era campur baur, kondisi yang mengancam budaya sehingga akan terbentuknya kota metropolitan.
Sebagai seorang yang telah merasakan kota metropolitan DKI Jakarta, tentu tak menginginkan Yogyakarta berubah menjadi seperti DKI Jakarta. Dari masalah kemacetan panjang, panas mencekam, gotong royong telah pudar, masyarakat acuh tak acuh, uang jadi raja. Semoga Yogyakarta bisa berbenah tetap menjadi Kota Budaya. Kota yang tetap alami tanpa kehilangan jati diri suatu kerajaan kasultanan yang tetap menjaga adat istiadat budaya jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar